Sejarah Propaganda I (Bag.I)

Selasa, 09 November 2010

Kelahiran” propaganda”, kendati belum menggunakan istilah ini, dapat ditelusuri pada hasil karya seniman-seniman Mesir Kuno. Mereka menulis di atas lembaran daun papirus atau memahat relief di peti penutup mumi raja-raja mesir. Tugas utama mereka adalah mengabdikan sekaligusmenyebarluaskan keperkasaan, kebesaran, dan kehebatan penguasa-penguasa mesir.
Ketika itu para seniman hanya melaksanakan titah raja, bangsawan dan para alim ulama. Mereka juga sering diberi tugas merancang dan menciptakan bangunan, patung, lukisan, dan sebagainya yang sarat dengan keagungan seorang raja ataupemuka agama. Semua itu merupakan bagian penting dari kelengkapan simbolik kekuasaan dan keagamaan. Begitu pula dengan bangunan candi di indonesia . selain digunakan untuk kepentingan ibadah, fungsi bangunan tersebut cenderung rekat dengan kepentingan lain (baca propaganda), khususnya yang menekankan kebesaran suatu kerajaan.
Memasuki abda pertengahan hingga Renaisans, seni dan arsitektur menjadi sarana propaganda kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat.
Kelompok-kelompok ini dapat berupa instusi keagamaan atau lembaga keduniawian seperti kerajaan dan aristokrasi. Para seniman pun memperoleh “keuntungan” relatif besar , baik dari sisi materi maupung kedudukan sosial, pihak gereja, bangsawan, dan kerajaan selalu bertindak sebagai patron yang melindungi mereka. Setalah Johann Gutenberg mengembangkan teknik baru dalam mesin cetak, mereka-para seniman-tetap berkarya dengan mengangkat sejumlah tema sesuai permintaan kerajaan dan lembaga keagamaan maupun sebagai ekspresi pribadi si seniman akan lingkungan sosial pilitik dan sekitarnya.

Pada abad ke-16, suatu zaan yang merekam perselisihan panas antara gereja Katolik Roma dengan para pengikut Martin Luther (1483-1546), seni dan desain grafis menjadi wahana propaganda yang terbukti sangat ampuh. Kedua belah pihak lebih banyak menggunakan teknik seni grafis ketimbang seni lukis. Alasannya, selain karena mampu menghasilkan karya estetik juga mudah direproduksi berlipat ganda sementara seni lukis, yang tampak lebih eksklusif, tidak bisa direproduksi massal dalam waktu singkat dan hanya dapat dipajang di ruang-ruang terbatas. Waktu itu, seni lukis lebih cenderung berperan sebagai media wacana dalam lingkungan terbatas, baik untuk menunjang legitimasi kuasa kelompok sosial dominan maupun ekspresi pemikiran kritis sang seniman.

Sebagai bagian dari ”ilmu komunikai” dan seni rupa-khususnya desain grafis, propaganda banyak memanfaatkan dan menggabungkan keahlian seniman atau desainer grafis dengan pelbagai teknologi grafis, cetak, fotografi, hingga media elektronik. Semakin massal sifat suatu media, semakin luas daya jangkau propaganda. Sebelum itu, satu-satunya media propaganda adalah kemampuan olah wicara atau orasi. Dengan diksi yang hebat, nada dan intonasi yang tepat, gestur dan gestikulasi yang memikat, seorang propagandis dapat mempengaruhi khayalak sasaran dengan cepat.

Keadaan berubah drastis setelah ditemukannya mesin cetak Gutenberg. Keberadaan mesin cetak membuat propagandis mampu menulis dan memperbanyak pesan-pesan propagandistik dalam bentuk pamflet dan poster. Institusi keagamaan yang diuntungkan oleh temuan baru itu pun dapat lebih leluasa memproduksi pelbagai materi cetakan. Begitu pula dengan perluasan gerakan Reformasi Martin Luther pada 1520-1521. Mereka tersebar melalui media cetak, terutama leafle yang dirancang dan dibuat oleh beberapa seniman grafis Jerman.

0 komentar:

Posting Komentar